Senin, 20 Oktober 2008

KONGRES NASIONAL SKIZOFRENIA KE-5 : CLOSING THE TREATMENT GAP FOR SCHIZOPHRENIA

Tanggal 24-26 Oktober 2008 bertempat di Lombok, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Seksi Skizofrenia akan mengadakan kembali Kongres Nasional Skizofrenia. Kongres dua tahunan yang diadakan kelima kalinya ini tahun ini mengambil tema “CLOSING THE TREATMENT GAP FOR SCHIZOPHRENIA”. Tema ini diambil tentunya bukan tanpa alasan. Sampai saat ini informasi tentang gangguan jiwa Skizofrenia masih sangat minim. Masyrakat juga mengenal gangguan jiwa ini sebagai gangguan yang berat, memalukan dan perlu dihindari pasien maupun keluarganya. Stigma “GILA” sudah begitu lekat dengan pasien skizofrenia dan keluarganya. Hal ini belum lagi ditambah dengan kondisi gangguan jiwa seperti Skizofrenia yang pada beberapa kondisi memerlukan penanganan yang menyeluruh. Sayangnya ada kalanya terdapat perbedaan pendapat dalam menatalaksana pasien gangguan jiwa berat seperti Skizofrenia sehingga terkadang menimbulkan “gap” dalam tatalaksana di praktek klinis sendiri.

Lebih Jauh Mengenai Skizofrenia
Pasien skizofrenia seringkali luput dari perhatian kita. Data demografik menyatakan terdapat sekitar 1% populasi dunia yang menderita gangguan jiwa jenis ini, suatu jumlah yang sangat besar dengan populasi manusia dunia saat ini. Hal ini karena berhubungan dengan beban masyarakat dan Negara yang ditanggung karena penyakit ini. Dalam masyarakat pasien skizofrenia sering dianggap sudah tidak punya perasaan lagi dan terkadang dianggap berbahaya. Padahal mereka juga pasien yang sangat membutuhkan perhatian dari dokter dan keluarga serta masyarakat. Seringkali pasien dengan gangguan skizofrenia menjadi bulan-bulanan masyarakat. Mereka lebih sering disebut masyarakat sebagai orang gila. Stigma yang begitu melekat pada pasien gangguan skizofrenia adalah mereka berbahaya. Padahal pasien gangguan skizofrenia yang mempunyai kecenderungan berperilaku kekerasan hanya sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 1 (satu) persen, itupun biasanya terjadi pada kondisi akut. Bila dalam perawatan, pasien kebanyakan tenang dan dapat mengendalikan diri. Selain itu kekerasan yang dilakukan pasien merupakan suatu tanda dan gejala dari manifestasi penyakitnya.
Tidak seperti penyakit fisik yang mempunyai target organ yang bermanifestasi pada gejala dan tanda fisik yang terdapat pada pasien, gangguan skizofrenia seperti umumnya gangguan jiwa mempunyai manifestasi tanda dan gejalanya pada perasaan (affective), perilaku (behavior) dan pikiran (cognition). Bila dibagi dalam bagian besar maka gejala klinis pasien skizofrenia dapat dibagi menjadi gejala negatif (menghindari pergaulan sosial, berdiam diri, afek yang tumpul sampai datar, tidak ada semangat untuk beraktivitas) serta gejala positif (gaduh gelisah, waham, halusinasi, bicara kacau). Maka tak heran jika orang lain melihat kalau pasien skizofrenia seringkali berperilaku dan mempunyai pikiran aneh. Hal itu sebenarnya merupakan manifestasi dari penyakitnya sendiri.
Banyak pasien skizofrenia yang dapat kembali menjalani kehidupan normal. Mereka mampu menyelesaikan pendidikannya dan dapat bekerja seperti kebanyakan orang. Sampai saat ini gangguan skizofrenia tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa ahli mengatakan adanya suatu hubungan antara sistem dopaminergik di otak dengan penyakit skizofrenia ini. Hipotesis tentang sistem dopamin ini mengatakan terdapat aktivitas yang berlebihan dari sistem ini. Jaras yang dianggap paling berperan terhadap timbulnya gejala terutama waham dan halusinasi adalah jaras mesolimbik, sehingga sampai saat ini pengobatan oleh obat-obat antipsikotik bertujuan untuk menurunkan aktivitas dari sistem yang terlibat ini. Belakangan penelitian juga mengungkapkan adanya peranan dari sistem lain seperti sistem serotonergik.

Bagaimana mengenali tanda-tanda skizofrenia?
Penyakit ini mempunyai beberapa tanda dan gejala, yang paling sering antara lain adalah Waham; yaitu suatu keyakinan yang salah yang tidak sesuai dengan latar belakang sosial budaya serta pendidikan pasien, namun dipertahankan oleh pasien dan tidak dapat ditangguhkan. Beberapa pasien skizofrenia mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau beberapa orang yang berniat jahat terhadap pasien. Ada pula pasien yang yakin bahwa ia adalah orang yang istimewa, seperti raja atau nabi dan mempunyai kekuatan yang istimewa juga.
Halusinasi ; gangguan persepsi ini membuat pasien skizofrenia dapat melihat sesuatu atau mendengar suara yang tidak ada sumbernya. Halusinasi yang sering terdapat pada pasien adalah halusinasi auditorik (pendengaran). Terkadang juga terdapat halusinasi penglihatan dan halusinasi perabaan.
Siar pikiran yaitu pasien merasa bahwa pikirannya dapat disiarkan melalui alat-alat bantu elektronik atau merasa pikirannya dapat dibaca oleh orang lain. Terkadang pasien dapat mengatakan bahwa dirinya dapat berbincang-bincang dengan penyiar televisi maupun radio. Beberapa pasien juga mengatakan pikirannya dimasuki oleh pikiran atau kekuatan lain atau ditarik/diambil oleh kekuatan lain
Selain gejala di atas yang merupakan gangguan terhadap isi pikiran dan persepsi pasien, manifestasi gangguan skizofrenia juga terdapat pada proses pikirnya. Pada beberapa pasien terutama yang akut atau jenis skizofrenia hebefrenik terdapat proses pikir yang sangat kacau atau terdapat asosiasi longgar. Orang awam lebih sering menyebut sebagai pembicaraan yang ngaco atau ngawur. Seringkali terdapat ketidakserasian antara isi pikiran dengan mood yang dapat kita lihat dari ekspresi pasien saat bercerita tentang keadaan dirinya. Perilaku gaduh gelisah pada pasien skizofrenia biasanya merupakan reaksi terhadap waham (biasanya waham paranoid) dan halusinasi auditorik yang bersifat memerintah

Apa yang harus dilakukan ?
Penatalaksanaan gangguan jiwa secara umum dilihat dengan memakai pendekatan Biopsikososial yang artinya bahwa gangguan jiwa tidak hanya melibatkan satu faktor saja namun ketiga faktor yaitu biologi (genetik), psikologi dan sosial . Penelitian mengungkapkan adanya faktor genetik yang berperan terjadinya penyakit ini. Dalam wawancara selalu ditanyakan adanya riwayat keluarga yang mempunyai gangguan jiwa. Selain itu telah diketahui dari penelitian bahwa skizofrenia mempunyai dasar kelainan biologi yang kuat. Dalam hal ini adalah adanya hiperaktivitas dari sistem dopamin di dalam otak. Sehingga pengobatan sangat diperlukan bagi penderita skizofrenia. Harus diperhatikan dalam pemakaian obat-obatan antipsikotik, bahwa untuk episode pertama maka diharapkan pasien dapat makan obat tanpa putus selama kurang lebih 1 tahun. Nantinya akan dilihat perkembangan oleh psikiater yang merawat apakah perlu dilanjutkan atau dihentikan. Bila dilanjutkan maka biasanya hanya dalam dosis pemeliharaan yang biasanya lebih kecil daripada dosis awal. Bila pasien sudah mengalami beberapa episode bahkan mempunyai kecenderungan berulang kali kambuh dalam jangka waktu yang pendek (biasanya ditetapkan 1 tahun) maka biasanya obat yang diberikan akan bertahan sekitar 3-5 tahun atau seumur hidup.
Ketakutan dari keluarga adalah pasien akan mengalami ketergantungan obat. Hal ini salah karena penyakit skizofrenia haruslah dianggap seperti layaknya penyakit lain seperti jantung dan hipertensi yang juga membutuhkan pengobatan seumur hidup. Konsep ketergantungan sendiri sering disalahartikan pasien sebagai layaknya ketergantungan terhadap narkoba. Sehingga beberapa pasien memutuskan untuk berhenti berobat dan akhirnya terkadang kambuh kembali dengan keadaan yang lebih berat daripada saat awal penyakit ini. Padahal biasanya dalam pengobatan akan terjadi penurunan dosis sampai dosis minimal yang dapat menghilangkan gejala skizofrenia itu sendiri.
Selain dengan psikofarmaka, pengobatan skizofrenia juga melibatkan semua pihak dari keluarga. Hal ini untuk mencegah keberulangan penyakit yang sering. Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa ekspresi emosi (disingkat EE) keluarga sangat berperan dalam keberulangan penyakit skizofrenia. Ekspresi emosi adalah segala tindakan yang dianggap dapat menyudutkan pasien dan menjadikan suatu tekanan yang dapat memicu keberulangan penyakit ini. Contohnya adalah harapan atau tuntutan yang terlalu besar terhadap pasien, sikap menyalahkan, membatasi pergaulan pasien karena merasa malu, atau memperlakukan pasien seenaknya karena dianggap sudah tidak punya perasaan. Terapi okupasi membantu pasien untuk dapat mengisi hari-harinya dengan aktivitas yang berguna dan kalau mungkin menghasilkan. Gejala negatif yang seringkali muncul sesudah masa akut terlewati dapat dibantu dengan terapi jenis ini. Keluarga juga diharapkan aktif dalam melibatkan pasien sebanyak mungkin dalam aktivitas keluarga.
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka pasien skizofrenia dapat hidup secara normal seperti pasien-pasien lainnya. Banyak di antara mereka yang dapat berhasil menyelesaikan pendidikan dan dapat bekerja pada orang lain atau berwiraswasta. Beberapa di antaranya dapat menikah dan mempunyai keluarga. Tanggalkanlah stigma yang mengerikan dari mereka. Jangan anggap mereka berbahaya dan mengancam kelangsungan hidup orang di sekeliling mereka. Sebenarnya merekapun sama seperti manusia lain. Kita semua dapat mulai belajar melepaskan sedikit-demi sedikit stigma tersebut dengan mengawali tidak menyebut mereka dengan istilah ORANG GILA.